Minggu, 27 Januari 2019

JALU DAN KENANGANNYA DENGAN MBAH NARTO
Cerpen Ianhasan



sumber gambar:
https://scontent-ams3-1.cdninstagram.com/vp/b499d2ba873bad3652ff6e27855360ae/5C725373/t51.2885-15/sh0.08/e35/s640x640/44626714_448717068986667_2326274716159596940_n.jpg

Pagi ini, Jalu mengenang masa sekitar tiga setengah dasawarsa lalu, pada sebuah desa di lembah antara Gunung Wilis dan Gunung Lawu, tempat di mana dia pernah dilahirkan sebagai anak kedua. Rindang pepohonan asem dan trembesi di kiri-kanan jalan menemani kayuhan dan keringat siapa saja yang melintas di bawahnya. Mewahnya aspal godhog, baru sanggup menyapa jalan raya kabupaten, belum sampai menyentuh jalanan tanah berdebu dan berkerikil di kampung-kampung yang meskipun berdekatan dengan alun-alun. Televisi masih hitam-putih dan hanya ada siaran TVRI dengan program unggulan Ria Jenaka tiap Minggu dan Dunia Dalam Berita tiap malamnya. Peradaban kota-kota kabupaten di Jawa saat itu baru saja beranjak dari masa listrik belum ada, sekejap menjadi jaman benderang penuh gelora. Orang-orang mulai membiasakan banyak hal baru, semacam menghidupkan teplok dan petromax hanya ketika mati lampu (baca: listrik mati). Ada sesuatu yang kadangkala dirindukan, semacam bau daun pisang gosong terpapar strika besi berisi bara dengan ayam jago di ujungnya.

Jalu masih ingat betul, saat itulah di mana ‘lesung’ dan ‘grobog’ mulai banyak yang sekarat, menunggu waktu dirajang jadi papan penyusun almari atau perabot rumah yang lain. Atau dia sendiri pernah betah berjam-jam menatap gelondongan kayu jati dibelah dengan irama jenuh gergaji raksasa yang digerakkan dua orang, di atas dan di bawah kayu seukuran kerbau dewasa. Orang keramas sudah pakai shampo, meskipun saat itu masih dalam bentuk bubuk mirip detergen pakaian. Sabun cuci batangan banyak dialih-gunakan siswa-siswi sekolah menjadi bahan prakarya. Dan juga masih banyak wanita paruh baya yang hanya pakai kutang kain penutup dada. Anak-anak kecil berdunia lebar, berbaku kebahagiaan menyisir tempat-tempat lapang dan ranumnya bebuahan di pekarangan.

Tibalah saatnya, biduk kenangan Jalu tertambat di satu penggal cerita tentang keriangan sekelompok kecil bocah kampung. Mereka berebut memainkan kemudi 'Prau Layar' yang mereka imajinasikan dari andang pring reyot berukuran 60x100 cm dengan tinggi sepundak orang dewasa. Pada kerasnya teriakan, tampak kegirangan mereka menyanyikan satu komposisi yang berpadu dengan klothekan bambu dari tangan-tangan mungil yang tengah menggenggam kemerdekaan ciptaan mereka sendiri.

Yo kanca ning gisik gembira
Alerap lerap banyune segara
Angliyak numpak prau layar
Ing dina minggu keh pariwisata

Di antara anak-anak itu ada yang berdiri melepas jogetan pinggul, memeragakan tingkah selayaknya olengan kapal ke kanan ke kiri. Ada pula yang berjongkok sambil satu tangan terkepal ke atas, sementara satu tangan yang lain menunjuk-nunjuk memberi kabar kepada kawannya yang lain bahwa alam ikut bersukaria. Yah, terlihat gemerlap pada gelontoran air cucian dari dapur yang tertimpa sinar matahari sore, menghadirkan imajinasi samudera di mata mereka para pemilik zaman ini.

Alon praune wis nengah
Pyak pyuk pyak banyu binelah
Ora jemu jemu karo mesem ngguyu
Ngilangake rasa longkrah lesu

Mereka, anak-anak desa yang belum pernah sekalipun mencercap angin pantai dan gemuruh ombak itu, saling berpandangan sambil berkacak pinggang, bertukar senyum dan tawa di bawah naungan pohon srikaya. Dua anak saling menggelitik, ibarat kehangatan sore yang tersimpul tak pernah kehabisan dayanya. Tak terasa Jalu pun kian terpanggil untuk menyelam lebih dalam, mendekap gairah yang pernah menguatkannya tiga setengah dasawarsa lalu.

Athik njawil mas
Jebul wis sore
Witing kelapa katon ngawe awe
Prayogane becik balik wae
Dene sesuk esuk
Tumandang nyambut gawe

Berulang-ulang mereka menyanyikan komposisi lagu dolanan itu dengan membahana, meski tak satu pun dari mereka peduli atau sampai terbesit tanya, siapakah yang mengarangnya? Hingga kemudian pasamuan gembira itu beranjak surut, tatkala dari kejauhan terdengar teriakan dan terlihat lambaian tangan memanggil salah satu di antara mereka. Nyanyian pun menyusul terhenti, saat sayup-sayup suara radio transistor menyiarkan sinopsis sebuah sandiwara bersambung kegemaran mereka. Anak-anak desa itu semburat demi menyongsong perayaan imajinasi berikutnya. Bersamaan dengan itu, sehelai "blarak" jatuh tak jauh dari "andang pring", setelah sebelumnya puas menjadi saksi kearifan sebuah karya yang mengalir tulus membelai .

***


“Le, buruan tidur. Besok kamu masih harus sekolah!
Sebentar Mak, Jalu belum ngantuk!”
Biar saja bu, kalau sudah ngantuk nanti juga bakal tidur sendiri!

Benar saja, tak lama kemudian suara terbata-bata 'recorder sopran' Jalu menghilang. Di dalam mimpi, dia masih melanjutkan melatih tarian jemarinya mengeja nada-nada Swara Suling dan Dara Muluk yang sudah seminggu ini membanjiri telinganya. Sampai-sampai tanpa dia sadari, sosok seorang kakek telah berdiri di sampingnya.

Oh, mbah siapa?
Namaku Sunarto, Le! Kamu boleh panggil Mbah Narto.
Mbah Narto siapa?
“Tak perlu kau kenal aku sekarang, jika kelak kamu akan tahu sendiri.
Maksudnya Mbah?
Karena semakin menjauh dari hari ini, semuanya akan berangsur benderang.”
Saya masih belum paham, Mbah!
Sudahlah, kamu lanjutkan latihanmu supaya gurumu di sekolah senang!

"NGIIINGGG!"

Jalu seketika terbangun karena suara speaker masjid kampung sebelah yang tiba-tiba meraung. Rentetan nyanyian fals Lagu Turi-turi Putih yang diiringi ketipuk rebana dan dentam bass-drum yang bikin gatal telinga mengingatkannya tentang sesuatu. Bahwa belum lama dia terbangun dan itupun sama-sekali belum beranjak dari empuknya kasur sejak pagi tadi.

***


Rabu, 13 Desember 2017

Kenalkan Pendidikan Alternatif Pada Mahasiswa FKIP

UMS, Pabelan-Online.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (BEM FKIP) bekerja sama dengan Ki Hajar Dewantara Institute adakan kajian ilmiah terkait pendidikan alternatif. Acara yang berlangsung di gedung C4 FKIP, kampus I tersebut bertujuan mengenalkan pendidikan alternatif kepada mahasiswa FKIP sebagai calon guru, Sabtu (29/4/2017)



Salah satu pembicara sekaligus penulis Buku Desaku Sekolahku, Alfian Hasan, menjelaskan arti penting pendidikan alternatif bagi pendidikan di Indonesia. Bagi dia, pendidikan bukan sekedar belajar untuk menambah pengetahuan, namun belajar meningkatkan kemandirian. Alfian juga mengungkapkan bahwa pendidikan alternatif sudah dijalankan oleh tokoh-tokoh pendidikan Indonesia terdahulu, yang mana sangat mengutamakan penanaman kesadaran dalam diri serta dalam jiwa anak didik. 


Jiwa pendidikan alternatif adalah jiwa bangsa kita,

 ujarnya, Sabtu (29/4/2017).

Dia juga menambahkan pendidikan formal lebih mementingkan perolehan ijazah, pendidikan alternatif lebih mementingkan perolehan sebuah karya. Sebab anak didik diberikan suasana yang bebas dan santai untuk menyalurkan kreatifitasnya. “Nenek moyang kita adalah bangsa kreator bukan bangsa primitif,” tambahnya.



Koordinator Ki Hajar Dewantara Institute, Aldi Farhan Razak, mengatakan, Mahasiswa FKIP umumnya lebih banyak mengetahui pendidikan formal. Dia berharap mampu mengenalkan dan menerapkan pendidikan alternatif sebagai jalan lain menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik. “Mahasiswa bisa membuat komunitas-komunitas dengan penerapan pendidikan ini,” ungkapnya, Sabtu (29/4/2017).

Reporter: Vivi Furtining Dewi
Editor: Ratih Kartika
http://pabelan-online.com/2017/05/05/kenalkan-pendidikan-alternatif-pada-mahasiswa-fkip/
PERS RELEASE


SARASEHAN PENDIDIKAN
Ngudar Konsep Pasamuan Among Anak Sebagai Sanggar Komunitas”


  





  
Pendidikan Nasional perlu direspon secara mandiri oleh masyarakat lewat terobosan-terobosan model pendidikan berbasis komunitas, agar tidak mengerdilkan nilai penting pendidikan hanya sebatas belajar di sekolah formal semata. Hal ini selaras dengan apa yang menjadi wasiat Ki Hajar Dewantara, 

Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung kepada orang lain (onafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).


Sejak lebih kurang dua tahun lalu, embrio kegiatan PAMONGAN telah berjalan secara berkala di lingkungan RT.03/RW.07 Dusun Pokoh, Desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Inisiatif pembelajaran dalam lingkup komunitas telah mengemuka sejak awal, meskipun baru pada tanggal 10 November 2013, secara resmi nama PASAMUAN AMONG ANAK disepakati untuk memberi bentuk kegiatan rintisan sanggar komunitas ini, oleh sebagian kecil warga RT.03/RW.07 Pokoh, Desa Ngijo Tasikmadu Karanganyar, yang tergabung dalam Paguyuban Manunggaling Warga Baiti Jannati.

Aktifitas belajar di Sanggar Pamongan sendiri lebih ditekankan pada pengembangan diri anak secara luas dan justru tidak secara langsung bersentuhan dengan wilayah-wilayah pembelajaran kognitif-ilmu pengetahuan semata. Akan tetapi bagaimana anak secara naluriah mampu hadir di tengah-tengah komunitas, terbangun kemampuannya dalam berinteraksi sosial secara wajar, mampu memetakan dan memecahkan persoalan yang timbul, mencerna gejala-gejala alam maupun sosial sebagai ladang pembelajaran, nyaman dan percaya diri dalam situasi apa pun, kreatif berkarya sebagai kebutuhan ekspresif, sampai pada bagaimana dia mengenali kekuatan dan potensi yang ada pada dirinya.

Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang berjalan sekadar menjadi perangkat pembelajaran yang bukan menjadi tujuan belajar itu sendiri. Sehingga ketika anak melukis, membuat prakarya, berlatih musik ataupun drama pertunjukan, dan lain sebagainya, itu menjadi media belajar sekaligus bermain yang tidak ditujukan untuk mengukur prestasi atau menilai pandai-tidaknya seorang anak. Dengan konsep “Among” yang berarti juga pendampingan, baik itu oleh orang tua, warga secara umum, ataupun para relawan yang menjadi pendamping anak dalam proses tersebut, pada dasarnya tidak hanya anak yang belajar atau diajari sesuatu, akan tetapi lebih tepat jika disebut bahwa baik anak, orang tua, warga atau relawan pendamping dan siapa pun yang terlibat di dalamnya, sedang meyelenggarakan proses belajar bersama, untuk menjadi cerdas bersama.


Pada penyelenggaraan kegiatan Sarasehan kali ini, peserta diharapkan akan saling mendapat wawasan lebih dalam tentang sanggar komunitas atau lebih umum komunitas belajar. Sehingga baik secara eksternal ataupun internal akan mampu memberi perspektif yang lebih gamblang, mengenai setidaknya tiga hal:
(1)  Sanggar Komunitas dalam perspektif Sistem Pendidikan Nasional;
(2)  Sanggar Komunitas dalam perannya menyertai tumbuh-kembang anak;
(3)  Sanggar Komunitas dalam pemberdayaan komunitas lebih luas.
Pemahaman yang cukup atas ketiga hal inilah yang niscaya akan menjadi pondasi bagi setiap individu warga belajar ataupun komunitas secara umum dalam partisipasinya mendorong inisiatif dan kemandirian model pendidikan berbasis komunitas secara lebih matang di kedepannya.


Untuk itu dihadirkan seorang narasumber yang kompeten dalam hal tersebut, yakni Bapak Ahmad Bahrudin, seorang praktisi pendidikan alternatif yang menggagas sekaligus menjadi motor penggerak Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga. Beliau dipandang matang dalam berbagi pandangan mengenai tema yang diangkat, sekaligus dapat menularkan pengalamannya dalam membangun kekuatan komunitas belajar pada situasi sekarang. Format sarasehan sengaja dipilih untuk lebih menguatkan karakter non-formal dalam kegiatan ini, agar terbangun suasana egaliter, diskusi dua arah dan semangat komunitas untuk selalu duduk bersama dalam sama-sama belajar pada setiap kegiatan yang diselenggarakan.



Kegiatan Sarasehan Pendidikan ini terselenggara pada
Hari,Tanggal:
Sabtu, 16 Mei 2015
Waktu:
Pukul 09:00 – 12:00 WIB
Tempat:
Masjid Nur Rohmah – Gang Durian RT.03/RW.07 Pokoh Desa Ngijo Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah
Peserta:
dengan eskalasi ±200 orang, terdiri dari unsur-unsur
1. Komunitas Belajar Setempat (orang tua dan anak);
2. Para relawan pendamping belajar;
3. Pejabat pemerintahan dan aparatur lingkungan;
4. Komunitas-komunitas pendidikan luar sekolah;
5. Pemerhati dan kawan-kawan media (pers);
Lain-Lain:
1. Acara diawali dengan kegiatan kreatif anak pada satu jam sebelumnya;
2. Tersedia materi Gelar Karya Anak dan Dokumentasi Kegiatan Sanggar;
3. Secara simbolis menjadi agenda peresmian Taman Baca Pamongan;
4. Penyelenggaraan acara murni gotong-royong warga;

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kontak person kami:

  • Alfian (081390129798)
  • Teguh (087835285358)

JALU DAN KENANGANNYA DENGAN MBAH NARTO Cerpen Ianhasan sumber gambar: https://scontent-ams3-1.cdninstagram.com/vp/b499d2ba873bad365...