Cerpen Ianhasan
https://scontent-ams3-1.cdninstagram.com/vp/b499d2ba873bad3652ff6e27855360ae/5C725373/t51.2885-15/sh0.08/e35/s640x640/44626714_448717068986667_2326274716159596940_n.jpg
Pagi ini, Jalu mengenang masa sekitar tiga setengah dasawarsa lalu, pada sebuah desa di lembah antara Gunung Wilis dan Gunung Lawu, tempat di mana dia pernah dilahirkan sebagai anak kedua. Rindang pepohonan asem dan trembesi di kiri-kanan jalan menemani kayuhan dan keringat siapa saja yang melintas di bawahnya. Mewahnya aspal godhog, baru sanggup menyapa jalan raya kabupaten, belum sampai menyentuh jalanan tanah berdebu dan berkerikil di kampung-kampung yang meskipun berdekatan dengan alun-alun. Televisi masih hitam-putih dan hanya ada siaran TVRI dengan program unggulan Ria Jenaka tiap Minggu dan Dunia Dalam Berita tiap malamnya. Peradaban kota-kota kabupaten di Jawa saat itu baru saja beranjak dari masa listrik belum ada, sekejap menjadi jaman benderang penuh gelora. Orang-orang mulai membiasakan banyak hal baru, semacam menghidupkan teplok dan petromax hanya ketika mati lampu (baca: listrik mati). Ada sesuatu yang kadangkala dirindukan, semacam bau daun pisang gosong terpapar strika besi berisi bara dengan ayam jago di ujungnya.
Jalu masih ingat betul, saat itulah di mana ‘lesung’ dan ‘grobog’ mulai banyak yang sekarat, menunggu waktu dirajang jadi papan penyusun almari atau perabot rumah yang lain. Atau dia sendiri pernah betah berjam-jam menatap gelondongan kayu jati dibelah dengan irama jenuh gergaji raksasa yang digerakkan dua orang, di atas dan di bawah kayu seukuran kerbau dewasa. Orang keramas sudah pakai shampo, meskipun saat itu masih dalam bentuk bubuk mirip detergen pakaian. Sabun cuci batangan banyak dialih-gunakan siswa-siswi sekolah menjadi bahan prakarya. Dan juga masih banyak wanita paruh baya yang hanya pakai kutang kain penutup dada. Anak-anak kecil berdunia lebar, berbaku kebahagiaan menyisir tempat-tempat lapang dan ranumnya bebuahan di pekarangan.
Tibalah saatnya, biduk kenangan Jalu tertambat di satu penggal cerita tentang keriangan sekelompok kecil bocah kampung. Mereka berebut memainkan kemudi 'Prau Layar' yang mereka imajinasikan dari andang pring reyot berukuran 60x100 cm dengan tinggi sepundak orang dewasa. Pada kerasnya teriakan, tampak kegirangan mereka menyanyikan satu komposisi yang berpadu dengan klothekan bambu dari tangan-tangan mungil yang tengah menggenggam kemerdekaan ciptaan mereka sendiri.
Yo kanca ning gisik gembira
Alerap lerap banyune segara
Angliyak numpak prau layar
Ing dina minggu keh pariwisata
Di antara anak-anak itu ada yang berdiri melepas jogetan pinggul, memeragakan tingkah selayaknya olengan kapal ke kanan ke kiri. Ada pula yang berjongkok sambil satu tangan terkepal ke atas, sementara satu tangan yang lain menunjuk-nunjuk memberi kabar kepada kawannya yang lain bahwa alam ikut bersukaria. Yah, terlihat gemerlap pada gelontoran air cucian dari dapur yang tertimpa sinar matahari sore, menghadirkan imajinasi samudera di mata mereka para pemilik zaman ini.
Alon praune wis nengah
Pyak pyuk pyak banyu binelah
Ora jemu jemu karo mesem ngguyu
Ngilangake rasa longkrah lesu
Mereka, anak-anak desa yang belum pernah sekalipun mencercap angin pantai dan gemuruh ombak itu, saling berpandangan sambil berkacak pinggang, bertukar senyum dan tawa di bawah naungan pohon srikaya. Dua anak saling menggelitik, ibarat kehangatan sore yang tersimpul tak pernah kehabisan dayanya. Tak terasa Jalu pun kian terpanggil untuk menyelam lebih dalam, mendekap gairah yang pernah menguatkannya tiga setengah dasawarsa lalu.
Athik njawil mas
Jebul wis sore
Witing kelapa katon ngawe awe
Prayogane becik balik wae
Dene sesuk esuk
Tumandang nyambut gawe
Berulang-ulang mereka menyanyikan komposisi lagu dolanan itu dengan membahana, meski tak satu pun dari mereka peduli atau sampai terbesit tanya, siapakah yang mengarangnya? Hingga kemudian pasamuan gembira itu beranjak surut, tatkala dari kejauhan terdengar teriakan dan terlihat lambaian tangan memanggil salah satu di antara mereka. Nyanyian pun menyusul terhenti, saat sayup-sayup suara radio transistor menyiarkan sinopsis sebuah sandiwara bersambung kegemaran mereka. Anak-anak desa itu semburat demi menyongsong perayaan imajinasi berikutnya. Bersamaan dengan itu, sehelai "blarak" jatuh tak jauh dari "andang pring", setelah sebelumnya puas menjadi saksi kearifan sebuah karya yang mengalir tulus membelai .
***
“Le, buruan tidur. Besok kamu masih harus sekolah!
Sebentar Mak, Jalu belum ngantuk!”
Biar saja bu, kalau sudah ngantuk nanti juga bakal tidur sendiri!
Benar saja, tak lama kemudian suara terbata-bata 'recorder sopran' Jalu menghilang. Di dalam mimpi, dia masih melanjutkan melatih tarian jemarinya mengeja nada-nada Swara Suling dan Dara Muluk yang sudah seminggu ini membanjiri telinganya. Sampai-sampai tanpa dia sadari, sosok seorang kakek telah berdiri di sampingnya.
Oh, mbah siapa?
Namaku Sunarto, Le! Kamu boleh panggil Mbah Narto.
Mbah Narto siapa?
“Tak perlu kau kenal aku sekarang, jika kelak kamu akan tahu sendiri.
Maksudnya Mbah?
Karena semakin menjauh dari hari ini, semuanya akan berangsur benderang.”
Saya masih belum paham, Mbah!
Sudahlah, kamu lanjutkan latihanmu supaya gurumu di sekolah senang!
"NGIIINGGG!"
Jalu seketika terbangun karena suara speaker masjid kampung sebelah yang tiba-tiba meraung. Rentetan nyanyian fals Lagu Turi-turi Putih yang diiringi ketipuk rebana dan dentam bass-drum yang bikin gatal telinga mengingatkannya tentang sesuatu. Bahwa belum lama dia terbangun dan itupun sama-sekali belum beranjak dari empuknya kasur sejak pagi tadi.
***